CATCHMENT AREA
1.1 Dasar
Teori
Catchment
area (daerah tangkapan air) merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke
laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis yang dapat
berupa punggung-punggung bukit atau
gunung dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan. Catchment area dapat dikatakan menjadi suatu
ekosistem dimana terdapat banyak aliran sungai, daerah hutan dan komponen
penyusun ekosistem lainnya termasuk sumber daya alam.Namun,komponen yang
terpenting adalah air, yang merupakan zat cair yang terdapat di atas, ataupun di bawah permukaan
tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan
air laut yang berada di darat. Catchment area erat kaitannya dengan Daerah
Aliran Sungai (DAS).
DAS merupakan ekosistem, dimana
unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara
dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari
material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan
suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit
pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan
peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan
(lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi
aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.
Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat
diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu
dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah
pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi
perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah
hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi
debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya.
Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan
terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata
air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian
mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik
melalui daur hidrologi. Kandungan air tanah yang ada berasal dari imbuhan, baik
secara langsung dari curahan hujan maupun dari aliran tanah yang terkumpul
menuju daerah lepasan (Dinas Pertambangan dan Energi, 2003). Kuantitas air
tanah dapat diketahui dengan mengetahui seberapa besar jumlah air hujan yang
menyerap kedalam tanah. Jumlah resapan air tanah dihitung berdasarkan besarnya
curah hujan dan besarnya derajat infiltrasi yang terjadi pada suatu wilayah,
yang kemudian meresap masuk ke dalam tanah sebagai imbuhan air tanah.
Penyebaran vertikal air bawah permukaan dapat dibagi menjadi zona tak jenuh (zone
of aeration) dan zona jenuh (zone of saturation). Zona tak jenuh
terdiri dari ruang antara sebagian terisi oleh air dan sebagian terisi oleh
udara, sementara ruang antara zona jenuh seluruhnya terisi oleh air. Air yang
berada pada zona tak jenuh disebut air gantung (vodose water), sedangkan
yang tersimpan dalam ruang merambat (capillary zone) disebut air
merambat (capillary water) (Linsley dkk., 1986).
Fungsi
hidrologis DAS sangat dipengaruhi jumlah curah hujan yang diterima, geologi
yang mendasari dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk
kapasitas DAS untuk:
1. mengalirkan air;
2. menyangga kejadian puncak hujan;
3. melepas air secara bertahap;
4. memelihara kualitas air dan
5. mengurangi pembuangan massa (seperti tanah longsor dan erosi)
DAS
berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS
bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk
mempertahankan kondisi lingkungan
DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi
tutupan vegetasi lahan DAS,
kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai
yang dikelola untuk dapat memberikan
manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat
diindikasikan dari kuantitas
air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah,
serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan
danau.Ketiga DAS bagian hilir
didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat
memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan
melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah
hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air
limbah
GAMBAR 1.1
Hubungan Biofisik antara DAS bagian hulu dan hilir
Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang
terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh
prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan
manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun
untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya
rentang panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata
ruang, dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak
terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara baik.Dimana, Kondisi
DAS dikatakan baik jika memenuhi beberapa kriteria yang juga mempengaruhi
catchment area :
a.
Debit sungai konstan dari tahun ke tahun.
b.
Kualitas air baik dari tahun ke tahun.
c.
Fluktuasi debit antara debit maksimum dan minimum kecil.
d.
Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun.
Perkembangan pembangunan di bidang permukiman,
pertanian, perkebunan, industri,
eksploitasi
sumber daya alam berupa penambangan, dan ekploitasi hutan menyebabkan penurunan
kondisi hidrologis suatu daerah aliran sungai (DAS). Gejala penurunan fungsi
hidrologis DAS ini dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia, seperti di
Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan, terutama sejak tahun
dimulainya Pelita I yaitu pada tahun 1972. Penurunan fungsi hidrologis tersebut
menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim
kemarau dan kemudian dipergunakan melepas air sebagai “base flow” pada
musim kemarau, telah menurun. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air
akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang kadang-kadang
menyebabkan
banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran “base flow” sangat kecil
bahkan pada beberapa sungai tidak ada aliran sehingga ribuan hektar sawah dan
tambak ikan tidak mendapat suplai air tawar.Salah satu contoh catchment area
yaitu waduk Cacaban dimana secara
geografis terletak antara 109º 11’ 28 ” BT sampai dengan 109º 14’ 58” BT dan 7º
1’ 31” LS sampai dengan 7º 2’ 18 LS. Waduk Cacaban memiliki daerah tangkapan
air (catchment area) seluas 6.792,71 hektar. Adapun luas genangan waduk
pada kondisi maksimal seluas 928,70 hektar. Pada kondisi tersebut waduk Cacaban
mampu mengaliri lahan sawah irigisi teknis seluas kurang lebih 17.500 hektar.
Rata-rata curah hujan dengan kisaran 1.912 mm/ tahun sampai dengan 2.942
mm/tahun. Jenis tanah di Kawasan Waduk Cacaban didominasi oleh komplek Latosol
merah kekuningan, Latosol coklat tua, berikutnya adalah komplek Podsolik merah
kekuningan, Podsolik kuning dan Regosol. Kawasan Waduk Cacaban bertopografi
berombak sampai berbukit dengan ketinggian bervariasi antara 85 sampai 600
meter di atas permukaan laut (dpl). Sedangkan sebagian besar daerah tangkapan
air (catchment area) merupakan daerah dengan kelas lereng IV - V, dengan
interval 25 – 40 % sampai dengan > 40 % tergolong daerah curam sampai dengan
sangat curam. Jumlah penduduk di catchment area Waduk Cacaban sekitar
29.859 jiwa yang tersebar di 9 (sembilan) desa. Berdasarkan jumlah penduduk
usia produktif (>15 tahun) sebesar 14.399 jiwa lapangan usaha penduduk di
kawasan waduk sebagian besar bergantung pada sektor pertanian, lainnya tersebar
pada berbagai sektor. Sektor non pertanian yang mempunyai potensi cukup besar
sektor perdagangan.
2.Hubungan curah hujan terhadap
catchment area dengan aquifer
Hubungan
curah hujan terhadap catchment area dapat di lihat dari kuantitas air tanah
yang terdapat pada catchment area dimana curah hujan dapat mempengaruhi volume
jumlahair di cathment area yang berasal dari sungai-sungai.Sedangkan terhadap
aquifer mempengaruhi geologi yang mendasari bentuk dari catchment
area.
Faktor yang Mempengaruhi Curah hujan :
1.
Letak
daerah konvergensi antartropis
2.
Bentuk
medan
3.
Arah
lereng medan
4.
Arah
angin yang sejajar dengan pantai
5.
Jarak
perjalanan angin di atas medan datar
6.
Pusat
geografis daerahnya
Faktor yang mempengaruhi banyak sedikitnya curah hujan di
suatu daerah :
- Factor Garis Lintang menyebabkan perbedaan kuantitas curah hujan, semakin rendah garis lintang semakin tinggi potensi curah hujan yang diterima, karena di daerah lintang rendah suhunya lebih besar daripada suhu di daerah lintang tinggi, suhu yang tinggi inilah yang akan menyebabkan penguapan juga tinggi, penguapan inilah yang kemudian akan menjadi hujan dengan melalui kondensasi terlebih dahulu.
- Faktor Ketinggian Tempat, Semakin rendah ketinggian tempat potensi curah hujan yang diterima akan lebih banyak, karena pada umumnya semakin rendah suatu daerah suhunya akan semakin tinggi.
- Jarak dari sumber air (penguapan), semakin dekat potensi hujanya semakin tinggi.
- Arah angin, angin yang melewati sumber penguapan akan membawa uap air, semakin jauh daerah dari sumber air potensi terjadinya hujan semakin sedikit.
- Hubungan dengan deretan pegunungan, banyak yang bertanya, “kenapa di daerah pegunungan sering terjadi hujan?” hal itu disebabkan uap air yang dibawa angin menabrak deretan pegunungan, sehingga uap tersebut dibawa keatas sampai ketinggian tertentu akan mengalami kondensasi, ketika uap ini jenuh dia akan jatuh diatas pegunungan sedangkan dibalik pegunungan yang menjadi arah dari angin tadi tidak hujan (daerah bayangan hujan), hujan ini disebut hujan orografik contohnya di Indonesia adalah angin Brubu.
- Faktor perbedaan suhu tanah (daratan) dan lautan, semakin tinggi perbedaan suhu antara keduanya potensi penguapanya juga akan semakin tinggi.
- Faktor luas daratan, semakin luas daratan potensi terjadinya hujan akan semakin kecil, karena perjalanan uap air juga akan panjang.
CURAH
HUJAN
I.2. Dasar Teori
Curah
hujan (mm) merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang
datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu)
millimeter, artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar
tertampung air setinggi satu millimeter atau tertampung air sebanyak satu
liter.
Presipitasi
(hujan) merupakan salah satu komponen hidrologi yang paling penting. Hujan
adalah peristiwa jatuhnya cairan (air) dari atmosfer ke permukaan bumi. Hujan
merupakan salah satu komponen input dalam suatu proses dan menjadi faktor
pengontrol yang mudah diamati dalam siklus hidrologi pada suatu kawasan (DAS).
Peran hujan sangat menentukan proses yang akan terjadi dalam suatu kawasan
dalam kerangka satu sistem hidrologi dan mempengaruhi proses yang terjadi
didalamnya. Mahasiswa akan belajar tentang bagaimana proses terjadinya hujan,
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya, bagaimana karakteristik hujannya
dan mempelajari cara menghitung rata-rata hujan pada sutau kawasan dengan
berbagai model penghitungan rata-rata hujan.
Presipitasi
cair dapat berupa hujan dan embun dan presipitasi beku dapat berupa salju dan
hujan es. Dalam uraian selanjutnya yang dimaksud dengan presipitasi adalah
hanya yang berupa hujan.
Dengan
segala kekurangan dan kelebihannya, alat pengukur hujan ada 2 macam yaitu alat
pengukur hujan manual dan alat pengukur hujan otomatik.
II.2 Metode
1. Metode rata-rata aritmatik
·
Plot semua
lokasi stasiun pengukuran dan tingi hujan yang ada di sekitar daerah aliran
sungai yang akan ditentukan curah hujan wilayahnya.
·
Tentukan
berapa banyaknya stasiun pengukuran hujan yang terletak di dalam batas daerah
aliran sungai tersebut.
·
Jumlahkan
tinggi hujan dari sejumlah stasiun pengukuran hujan yang telah ditentukan.
·
Curah hujan
wilayah diperoleh dengan cara membagi jumlah tinggi hujan hasil tahap kerja c
dengan banyaknya stasiun pengukuran hujan hasil tahap kerja b.
2. Metode Poligon Thiessen
·
Plot semua
lokasi stasiun pengukuran dan tinggi hujan yang ada di sekitar daerah aliran
sungai yang akan ditentukan curah hujan wilayahnya.
·
Sambungkan
setiap stasiun pengukuran hujan dengan stasiun pengukuran terdekatnya terutama
untuk stasiun-stasiun pengukuran hujan yang berada dalam dan paling dekat
dengan batas daerah aliran sungai. Sambungkan antara stasiun akan membentuk
deret segitiga yang tidak boleh saling memotong satu sama lain.
·
Tentukan
titik tengah dari setiap sisi segitiga kemudian buatlah sebuah garis tegak
lurus terhadap masing-masig sisi segiiga tersebut tepat di titik tengahnya.
·
Hubungkan setiap
garis tegak lurus tersebut satu sama lain sehingga membentuk poligon-poligon
dimana setiap poligon hanya diwakili oleh satu stasiun pengukuran hujan yang
berada di dalam atau paling dekat dengan batas daerah aliran sungai.
·
Tentukan luas
daerah masing-masing poligon dengan mengunakan planimeter atau kertas milimeter
blok. Jumlah dari luas daerah masing-masing poligon akan sama dengan total luas
daerah aliran sungai.
·
Tentukan
presentase luas dari setiap poligon terhaap luas totaldaerah aliran sungai.
·
Kalikan
presentase luas setiap poligon (hasil tahap kerja f) dengan tinggi hujan yang
jatuh di dalam poligon-poligon tersebut.
·
Curah hujan
wilayah diperoleh dengan cara menjumlahkan perkalian persentase luas poligon
dengan tinggi hujan yang jatuh di dalam poligon tersebut (penjumlahan setiap
perkalian pada tahap kerja g).
3. Metode Isohyet
·
Plot semua
lokasi stasiun pengukuran dan tinggi hujan yang ada di sekitar darah aliran
sungai yang akan ditentukan curah hujan wilayahnya.
·
Tentukan
interval curah hujan yang akan digunakan.
·
Gambar
isohyet (garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai curah hujan yang
sama) berdasarkan interval yang telah ditentukan, berturut-turut mulai dari
interval yang paling besar samapai inteval yang palinh kecil. Dalam beberapa
hal isohyet merupakan hasil interpolasi linier antara curah hujan pada pada dua
stasiun pengukuran yang berdekatan.
·
Tentukan
curah hujan rata-rata diantara setiap isohyet (isohyet rata-rata) dengan metode
rata-rata hitung.
·
Tentukan
total luas daerah yang dicakp oleh setiap isohyet dengan menggunakan planimeter
atau kertas milimeter blok.
·
Tentukan luas
neto dari masing-masing daerah
·
Kalikan
masing-masing isohyet rata-rata
·
Akumulasikan
hasil dari masing-masing perkalian antara isohyet rata-ratadengan luas netto
daerahnya berturut-turut dari interval isohyet tinggi ke isohyet terendah.
·
Tentukan
hujan ekivalen yang jatuh di setiap luasan netto isohyet dengan cara membagi
akumulasi nilai pada masing-masing interval isohyet.dengan total luas daerah
yang dicakup oleh masing-masing interval isohyet.
·
Curah hujan
wilyah diperoleh dari hujan ekivalen yang jatuh pada luasan netto yang paling
kecil.
BAB
III
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
III.1. Hasil Pengamatan
1.
Metode rata-rata aritmatik
Stasiun pengukuran
|
Curah hujan
|
1
|
172
|
2
|
158
|
3
|
130
|
4
|
118
|
5
|
96
|
6
|
80
|
7
|
78
|
8
|
76
|
9
|
70
|
10
|
62
|
11
|
55
|
Total
|
1095
|
Rata-rata
|
99.54
|
1.
Metode poligon Thiessen
Stasiun pengukuran
|
CH (mm)
|
Luas Poligon
|
% Luas Poligon
|
2x4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
160
|
491
|
0.05
|
8.57
|
2
|
155
|
194
|
0.02
|
3.28
|
3
|
136
|
198
|
0.02
|
2.94
|
4
|
118
|
1634
|
0.18
|
21.04
|
5
|
90
|
501
|
0.05
|
4.92
|
6
|
80
|
693
|
0.08
|
6.25
|
7
|
77
|
1685
|
0.18
|
14.16
|
8
|
79
|
902
|
0.10
|
7.78
|
9
|
62
|
1146
|
0.13
|
7.75
|
10
|
55
|
1395
|
0.15
|
8.37
|
11
|
52
|
323
|
0.04
|
1.83
|
Total
|
9165
|
5.00
|
91.69
|
1.
Metode Isohyet
Interval isohyet
|
Isohyet rata-rata
|
Luas
|
Luas neto
|
2x4
|
5
|
CH ekuivalen (6:3)
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
>150
|
162.5
|
129
|
129
|
20962.5
|
20962.5
|
162.5
|
125-150
|
137.5
|
519
|
390
|
53625
|
74587.5
|
143.71
|
100-125
|
112.5
|
1470
|
1018
|
121500
|
227225
|
133.39
|
75-100
|
87.5
|
2805
|
1725
|
150937.5
|
469337.5
|
123.71
|
50-75
|
62.5
|
5250
|
3525
|
220312.5
|
788837.5
|
108.06
|
III.2. Pembahasan
Presipitasi adalah peristiwa jatuhnya cairan (dapat
berbentuk cair atau beku) dari atmosphere ke permukaan bumi. Presipitasi cair
dapat berupa hujan dan embun dan presipitasi beku dapat berupa salju dan hujan
es. Dalam uraian selanjutnya yang dimaksud dengan presipitasi adalah hanya yang
berupa hujan. Curah hujan wilayah disebut juga dengan curah hujan terpusat
dimana curah hujan yang didapat dari hasil pencatatan alat pengukur hujan atau
data curah hujan yang akan diolah berupa data kasar atau data mentah yang tidak
dapat langsung dipakai. Dalam suatu daerah terdapat stasiun pencatat curah
hujan.
Curah
hujan wilayah diperkirakan dari beberapa titik pengamatan curah hujan. Cara
menghitung curah hujan wilayah dapat ditentukan dari pengamatan curah hujan di
beberapa titik. Hasil pengukuran data hujan dari masing-masing alat pengukuran
hujan adalah merupakan data hujan suatu titik (point rainfall). Padahal untuk
kepentingan analisis yang diperlukan adalah data hujan suatu wilayah (areal
rainfall). Ada beberapa cara untuk mendapatkan data hujan wilayah yaitu :
1.
Cara Rata-rata Aljabar
Cara ini merupakan cara
yang paling sederhana yaitu hanya dengan membagi rata pengukuran pada semua
stasiun hujan dengan jumlah stasiun dalam wilayah tersebut. Sesuai dengan kesederhanaannya
maka cara ini hanya disarankan digunakan untuk wilayah yang relatif mendatar
dan memiliki sifat hujan yang relatif homogen dan tidak terlalu kasar.
2.Cara Poligon Thiessen
Cara ini selain
memperhatikan tebal hujan dan jumlah stasiun, juga memperkirakan luas wilayah
yang diwakili oleh masing-masing stasiun untuk digunakan sebagai salah satu
faktor dalam menghitung hujan rata-rata daerah yang bersangkutan. Poligon
dibuat dengan cara menghubungkan garis-garis berat diagonal terpendek dari para
stasiun hujan yang ada.
3. Cara Isohiet
Isohiet adalah garis yang
menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai tinggi hujan yang sama. Metode ini
menggunakan isohiet sebagai garis-garis yang membagi daerah aliran sungai
menjadi daerah-daerah yang diwakili oleh stasiun-stasiun yang bersangkutan,
yang luasnya dipakai sebagai faktor koreksi dalam perhitungan hujan rata-rata.
Stasiun pencatat curah
hujan maka untuk mendapatkan curah hujan wilayah dapat dilakukan dengan
mengambil nilai rata-rata dengan menggunakan cara-cara yang ditentukan.
Dari data yang diperoleh
dihasilkan banyak poligon yang didapat dalam suatu aliran sungai. Setiap
poligon memiliki luas yang berbeda-beda. Dalam 3 cara yang dilakukan untuk
menentukan curah hujan wilayah memiliki nilai yang berbeda-beda. Curah hujan
wilayah dalam menggunakan cara aritmatik mendapat nilai sebesar 92.67 mm, nilai
curah hujan wilayah dengan menggunakan cara poligon thiessen sebesar 81.01, dan
curah hujan wilayah dengan menggunakan cara isohyet menghasilkan nilai sebesar
1.83.
Data hujan yang tidak
konsisten biasanya disebabkan karena perubahab atau gangguan lingkungan di
sekitar tempat penakar hujan. Curah hujan tidak bersifat universal sehingga
daerah yang mengalami curah hujan maksimum pada saat aktivitas matahari
maksimum mengalami kekeringan dan curah hujannya cenderung maksimum. Data curah
hujan dapat diperoleh pada stasiun klimatologi.
BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
1. Dari data yang
dihasilkan terdapat poligon yang didapat dalam suatu aliran sungai. Setiap
poligon memiliki luas yang berbeda-beda. Dalam tiga cara yang telah dilakukan
untuk menentukan curah hujan wilayah memiliki nilai yang berbeda-beda. Dari
hasil yang diperoleh ternyata dari tiga cara yang digunakan dalam menentukan
rata-rata curah hujan wilayah metode poligon thiessen adalah yang paling
akurat.
2. Catchment area (daerah tangkapan air) merupakan suatu wilayah
daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,
yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari
curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis yang dapat berupa punggung-punggung bukit atau gunung dan batas di laut sampai dengan daerah
perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan
3. DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan
hilir.
IV.2 Saran
Dari hasil analisa
diharapkan pengukuran data curah hujan harus di uji konsistensinya terlebih
dahulu dengan menggunakan tiga cara yaitu cara aritmatik, cara poligon thiessen,
dan cara isohyet. Selain itu juga pengukuran curah hujan harus menggunakan
banyak stasiun sehingga curah hujan yang diperoleh tidak menimbulkan dampak
negatif terhadap manusia. Jika menginginkan data curah hujan yang akurat
sebaiknya di stasiun penakar hujan harus terbebas dari gangguan lingkungan,
seperti penakar hujan letaknya tidak boleh berdekatan dengan gedung tinggi dan
lain sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Sudjarwadi. 1987. Teknik Sumber Daya Air.
Yogyakarta : PAU Ilmu Teknik
UGM.
Sosrodarsono, S., dan Takeda. 1999. HidrologiUntuk
Pengairan. Jakarta : P.T. Pradny Paramita.
BalasHapusjudi online yang berkedudukan International, sungguh dan terpercaya hanya dimain judi online pakai pulsa